Artikel ini dibuat oleh :
Nama : Dwita Fhadillah
Nama : Dwita Fhadillah
NPM : 22213729
Kelas : 3EB06
Fakultas : Ekonomi
Jurusan : Akuntansi
Mata Kuliah : Bahasa Indonesia 2 (Softskill)
Jurusan : Akuntansi
Mata Kuliah : Bahasa Indonesia 2 (Softskill)
UPAH MINIMUM REGIONAL DAN STRATEGI INDUSTRI MANUFAKTUR
Penetapan Upah Minimum Regional (UMR)
merupakan kegiatan rutin yang menguras energi bangsa ini. Dimulai dari pertemuan
dewan pengupahan, buruh dan pengusaha (yang kadang tidak dihadiri oleh pihak
tertentu), demonstrasi yang merugikan kepentingan umum sampai dengan
gugatan-gugatan terkait ketidak sesuaian pendapat. Pada Tahun 2013 UMK beberapa
kota di Jawa Timur sudah ditetapkan bahwa kenaikan UMK
yang fantastis sekitar 38,4 % untuk Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik. Dan
kenaikan terendah sebesar 8,7 % untuk kabupaten Pamekasan.
Buruh/Pekerja
dari sudut pandang kebutuhan minimum hidup, sudah sepantasnya menuntut kenaikan.
Hal ini juga berkaitan erat dengan rencana pemerintah untuk menaikkan Tarif
Dasar Listrik (TDL) dan Bahan Bakar Minyak (BBM) di tahun 2013. Sementara,
dengan kenaikan UMR, hampir dipastikan akan ditolak oleh Asosiasi Pengusaha. Beban biaya produksi dan biaya tenaga
kerja menjadi alasan klasik pengusaha untuk tidak menyetujui ketetapan UMR.
Ditambah lagi menjamurnya produk-produk luar yang lebih murah dan lebih
bersaing di pasar Indonesia.
Dari dua paparan diatas jelas
terlihat runcingnya perbedaan pendapat antara pihak buruh/pekerja dan pihak
pengusaha. Pemerintah dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja yang harusnya
mengurai permasalahan ini sepertinya belum mampu untuk mengatasi problem ini.
Meskipun setiap tahun pemerintah pasti akan mengahadapi masalah ini. Tenaga
Kerja bagi dunia Industri kalau dilihat dari sisi labor cost sebetulnya
hanya bernilai 15 % dari Total Cost Production (tabel 1). Sementara
komponen biaya produksi yang lain desain (5 %), material (50 %), dan manufacturing
(30 %). Sehingga kalau kenaikan UMR sebesar 38,4 %, sebetulnya
bukan berarti biaya produksi akan naik 38,4% juga. Namun akan terjadi
peningkatan dikisaran 5,76 % tidak sampai 10 %.
Bagaimana
Industri Manufaktur seharusnya bertindak ?
Dengan adanya dua himpitan
persoalan tadi ada beberapa solusi yang bisa dilakukan oleh Industri Manufaktur
di Indonesia :
1.
Memperkuat Product Designer Team,
Desain meskipun dalam Total Cost Production hanya menyerap biaya 5 %,
namun dengan memperbaiki tahap desain akan dapat mengontrol 70 % total biaya
produksi. Pada bagian ini tim desainer bisa mengurangi biaya dengan penghematan
material/pengurangan material waste dan penyederhanaan proses
manufaktur.
2.
Penerapan
Design For Manufacturing (DFM) dan Design for Assembly. Design for
Manufacturing dilakukan untuk memastikan sedemikian rupa sehingga suatu
desain dapat diproduksi. Dan pada akhirnya tidak hanya bisa diproduksi saja
namun dengan langkah produksi apa sehingga biaya manufaktur rendah, namun
kualitas tetap terjaga.
3.
Penerapan
Supply Chain. Penerapan Supply chain dilakukan tidak hanya
pada material saja, namun juga dilakukan setelah produk jadi. Penerapan Supply
chain terhadap material dan hasil produksi ternyata bisa mengontrol 20-25 %
dari cost production.
Artikel
diatas termasuk golongan deduktif
Artikel di atas masuk ke golongan artikel deduktif karena si
penulis memberikan penjelasan umum di awal paragraf lalu menjelaskan kalimat
khusus setelah memberikan penjelasan umum di awal paragraf.
Penalaran :
·
Pemerintah
masih hanya berperan sebagai mediator saja. Pemerintah “terkesan” mencari aman
dengan meng”iya”kan permintaan buruh/pekerja terhadap UMR.
·
Pemerintah
seharusnya menjadi ujung tombak untuk menciptakan regulasi dan investasi yang
nyaman bagi dunia Industri dengan tetap memperhatikan kesejahteraan buruh dan
pekerja.
·
Sehingga sebetulnya kenaikan UMR
sebetulnya bukan menjadi persoalan yang berat. Persoalan yang terberat justru
datang dari persaingan produk-produk asing yang lebih murah.
Sumber :